LIFE LIFE LIFE

we do nothing except trying alive

Rabu, 31 Maret 2010

Tulisan di Tengah Hujan - Part.4

Menunggu. Hujan. Nyaman.

Ingin tertawa rasanya kalau kuingat alasan tulisan ini bisa dilahirkan... Karena sedang menunggu dan hari sedang hujan. aku rasa itulah benang merah dari semua kilasan yang kuberi judul sama ini.

Suara motor memenuhi ruangan di hadapanku dan dengan cepat suara itu datang dan pergi. Ruangan yang sedang kudiami juga bukan ruangan tertutup pengap yang mengurung segalanya. Ruangan ini justru pintu masuk penglihatan saya terhadap kebebasan.

Dan saat itu sudah menjadi malam itu.

Yah malam itu aku mendapat banyak hal yang cukup mengejutkan hatiku. Kagum dan juga miris. Aku jadi berpikir mengenai kehidupan berumahtangga lagi.

Well, obrolan dewasa kurasa. Hahaha...

Jika aku sudah menikah nanti, aku pasti akan menemukan kondisi seperti itu. Terlebih lagi aku ini adalah manusia yang begitu ingin memiliki seorang anak dari perutku sendiri. Jumlah anak tergantung Tuhan.

Sejenak. Malam ini hujan lagi. Di dalam mobil. Jok belakang. Hangat. Dua sahabat. Embun.
Ramai sudah lama tak bertemu. Ramai mencari tempat tujuan berkisah. Ramai bercanda-gurau.

Kondisi yang diceritakan padaku malam itu. Adalah kondisi dimana seorang anak bisa melakukan kesalahan yang fatal dan orang yang lebih tua harus bisa mengatasi dan menanganinya.

Saat ini aku sedang belajar. Mempersiapkan semua itu. Sebenarnya tak hanya aku. Kita semua. Sehingga saatnya nanti tiba, kita sudah siap.

Aku memang merasa cukup sulit berurusan dengan perasaan yang berhubungan dengan pacaran. Tapi aku tak sabar menanti saat setelah pacaran. Mungkin kalau memang bisa, ingin rasanya aku mengajak saja anak terlantar yang tak diurusi orangtuanya untuk berada dalam tanganku. Kurawat dan kujaga.

Namun seorang kerabat berkata hal tersebut akan menimbulkan ketidakbaikan. Bukan untukku tapi untuk anakku. Dan aku yang paling tak mau hal itu.

Perasaan terlalu menyayangi sudah ada di dalam diriku tanpa harus dipancing dan ditarik terlalu kuat atau terlalu dalam. Tapi perasaan untuk membatasi dan menahan perasaan sayangku ini masih belum ada. Namun tetap kalian bisa percaya satu hal. Aku akan terus mencoba dan belajar. Sekali lagi aku bilang, yang begitu tak hanya aku. Juga kalian. Mereka. Semua.

Malam ini aku berkelana di luar. Awalnya disambung menyenangkan hati namun kemudian aku terpuruk.

Entah mengapa aku sedang selalu merasa salah. Merasa tak benar. Dan ini terjadilah. Pemikiran tidak terlalu memikirkan orang memang harus selalu kupijak. Karena jika kugoyah sedikit saja aku pun layu.

Dan inilah yang sedikit kutaksuka dari sahabat. Selain karena aku pasti tak berkutik di depan mereka, aku pun akan mudah terpengaruh akan mereka. Namun selama pengaruhnya terjadi baik padaku.

Angin malam yang bertiup kencang dari jendela di mobill bagian penumpang belakang karena mobil melaju kencang di jalan tol adalah hal yang sangat kucintai.

Ramai. Berisik. Menampar. Kencang. Alam. Sejuk.

Tak ada lagi kata yang aku ucapkan kemudian. Hanya ingin menikmati dalam diam. Di saat berangkat. Dan juga pulang.

Ternyata perjalanannya cukup panjang. Untuk ukuran 3500 memang mungkin wajar saja. Waktu yang cukup berkualitas dan menyenangkan pun aku dapatkan dalam memandang, menikmati, dan diam...

Hey, langit hitam tak berbintang.

Apa itu yang sedang memenuhi hati kami-yang ada di mobil yang sama yang sempat menantang keruh tadi?

Dan cuma tinggal rasa berat di kelopak mata ketika penumpang sudah berkurang satu.

Akhir cerita kali ini : aku masih merasa takut memeluk suatu komitmen dalam.jemariku. Bukan hanya diriku belum siap namun hati mungkin juga belum menemukan. Dan juga kenyataannya adalah suatu hal yang rumit dan berliku membina hubungan dengan seseorang itu.

Sementara aku masih tak peka. Masih tak tau mengenai hal itu. Masih tertutup matanya. Masih fana belaka. Masih muda.

Sayangnya aku juga tak tau mau berbuat apa. Atau juga mau berkata apa. Tak ada pembelaan dan tak ada penjelasan akan ketidak mengertianku.

Sudah

Cukup sudah

Lelah

Bandung, 28 Maret 2010
Kencang masih melaju di kaki

Kamis, 25 Maret 2010

Tulisan di Tengah Hujan - Part.3

Memangnya apa sih yang kita harapkan dari dunia ini?
Itu yang saya pikirkan di tengah suasana nyaman rumah kosan salah satu teman saya. Hasil pemikiran karena membaca salah satu novel Dee-yang takkan pernah mati dan bosan dibaca sepertinya-, Perahu Kertas.

Temaram awalnya-kini terang bederang. Bersama beberapa teman-teman sejurusanku-sehimpunan. Rapat wisudaan. Bertemu para wisudaan. Di tengah derasnya hujan yang muncul setelah mendung panjang. Diselimuti dingin nyaman. Sejuk. Tenang.

Meskipun sedang dicecar oleh senior-seniorita.

Kemarin lalu aku bilang berusaha sebaik mungkin mengenai cinta. Tapi kini aku semakin yakin cinta semakin memperumit dunia. Tak semua cinta. Khusus hanya yang terhadap lawan jenis. Cinta yang sering dibumbungkan dunia...

Kenapa? Karena aku selalu benci kisah cinta yang biasanya akan menyakitkan. Ambigu. Dan sering tak bisa dibaca. Tak jelas.

Terlalu menyangkal kehidupankah? Entah. Aku masih muda dan masih banyak tak tahu apa-apa. Tapi aku sudah bisa merasakan pahitnya. Dan pahit itu sulit tersiram manisnya.

Tak tahan menahan tangan karena perkataan para senior yang sepertinya senang sekali berucap dan berkata. Tapi di kuping kami terdengar seperti caci maki yang tak henti. Teringat akan interaksi.

Manis.
Getir.

Namun rasa ini begitu mudah mengalirkan manisnya tanpa peduli kegetiran yang pernah ada. Cinta. Tapi bukan cinta yang sering dibumbung-bumbungkan.

Dan hujan semakin deras. Petirnya senang bergabung dan mewarnai. Sejuk dan dingin. Keadaan yang begitu sukai dan nikmati untuk berpikir jernih.

Rintik hujan dengan volume yang tak sedikit menghiasi pandangan mata malam ini. Gemuruh petir menari-nari di telinga kami. Bahkan barusan kulihat warna pantulan kita ikut mewarnai rintik derasnya hujan.

Kalau aku boleh terbang dari lingkaran forum rapat ini, aku ingin sejenak mengingat senior yang dengan tangan yang begitu terbuka menyambut kami masuk ke dalam lingkungan yang sangat mereka jaga. Membahagiakan merasakannya. Bahkan jika hanya mengingatnya...

Kami segan padahal mereka sangat bersahabat. Menyayangi dan tak menolak disayangi. Sebuah kumpulan yang selalu menarik simpati dan keharuan yang aku miliki. Keras demi kami. Keras untuk mendidik kami.

Ah... Tapi aku jenuh membicarakan mengenai hal tersebut. Sudah seperti benang kusut saja pembicaraan yang melayang di udara di hadapan saya. Bosan. Jenuh.

Kedinginan.

Dingin ini terus menyeruak ke dalam titik terkecil pada diriku. Celana jins yang baru keluar dari dalam lemari hari senin kemarin ini bahkan mampu ditembus udara dingin ini. Lapisan yang aku pakai terlalu tipis untuk menghadapi malam hari ini.

Tapi hangat badan seorang teman membantuku mengatasi dingin ini. Kemudian lingkaran ini ditutup dan segera pecahlah sudah. Dingin lebih menusukku dari segala arah. Semua orang langsung bangkit dan aku hanya duduk diam di tempatku. Dan bersandar pada tasku yang berat dan besar. Dingin menusuk di semua titik. Kedinginan di awal malam. Namun ini nikmat. Aku suka ini. Nyaman diri ini.

Bebatuan yang menjadi dasar dan pilar selasar ini juga cukup menenangkanku. Karena jika kuingat jalan pulang, diriku akan segera kebasahan. Yang menjadi lebih miris jika dilihat dengan hati adalah karena aku tak mau satu-satunya sepatu kets-ku sekarang menjadi basah bermandikan hujan malam. Tidak.

Aku melihat sekelilingku namun masih terduduk di tengah hujan. Ingatanku terbang menuju salah satu tempat di kamarku yang menyimpan persediaan cokelat. Akan lebih nikmat rasanya jika hujan malam ini kunikmati di bangku kayu balkon lantai tiga rumah kosanku. Ditambah segelas cokelat hangat di gelas keramik ungu motif kucing-kesayanganku.

Memikirkan hal menyenangkan memang jauh lebih baik daripada duduk ditengah lingkaran kawanan perokok aktif. Dan jadilah aku perokok pasif yang menjadi akan mati lebih cepat dibandingkan mereka yang menyebabkan ini. Kesebalan lagi.

Berjalan d lorong kampus yang dihiasi pilar bebatuan. Perlahan. Meninggalkan tempat adanya kawan-kawan. Sebelum jauh berjalan tadi, aku sempat melihat sinar. Kilatan lagi. Dan seketika membuat aku ngeri. Kapan aku bisa maju tak gentar melawan seberkas sinar terang itu. Entah kapan. Padahal di tengah hujan seperti ini, kilatan itu senang sekali ada.

Menghirup udara bersih membuatku tenang dan mengembalikan pikiranku ke tengah lebaran Perahu Kertas.

Tepat ketika aku melewati satu batas antar pilar, kumpulan titik air dengan ringan menumbuhkan sensasi berat di antara akar rambut yang tumbuh di kepalaku. Bonus dari alam untukku. Anggap saja begitu.

Rintik hujan telah mengurangi volumenya namun cahaya penghias langit itu masih senang terbit menghiasi awan malam.

Kembali ke lembaran Perahu Kertas yang terduduk aman di dalam tasku.

Bukan aku orang yang enggan menjadi diri sendiri. Dan bukan aku orang yang enggan berhati-hati. Tapi, ya, ini aku orang yang terus hidup berusaha.

Kemaren dan hari ini. Bahkan maupun sekarang. Otakku sedang senang menjalin benang kusut. Dan ya itu benar bahwa tak nyaman dan tak nikmat ada di dalam benang kusut.

Ingin kuraih kejernihan diri seperti kemarin lalu lagi. Saat dimana aku bisa begitu fokus meskipun kesalahan datang menghampiri. Kini aku tak ada kejaran akan sesuatu. Dan aku justru tak mampu menginjak bumi dengan mantap.

Aku ingin sekali bisa bebas. Bebas benar-benar bebas. Karena sesungguhnya aku hanya bisa bebas sejenak dan kemudian terbebani lagi. Aku ingin bebas. Jadi aku belajar bebas.

Akan kulanjutkan diriku mengarungi kisah yang memberi banyak pelajaran diri. Dan akan kubiarkan diriku menjadi jernih kembali. Dengan pelajaran yang kudapat. Dengan makna hidup yang tak sengaja kulihat. Akan kubuat diriku mampu berdiri tegak lagi.

Menempel di atas kasur memang yang paling nikmat. Merasakan rajutan benang melindungi tempat kelembutan akan menangkap tubuh manusia. Menarik segala lelah.

Dan nikmat akan lebih terasa jika mampu menunaikan 5 waktu yang diwajibkan menemui Tuhan.

Mengingat Sang Penguasa Alam.

Bandung, 23 Maret 2010
Sedikit menanti cokelat hangat menyiram diri

Kamis, 18 Maret 2010

Tulisan di Tengah Hujan - Part.2

Ternyata pulpen, kertas, dan tissu yang diusahakan ada untuk menulis ringan tidak cukup untuk seorang aku.

Di luar pizza hujan deras lagi. Aku kekenyangan. Dan masih ada sedikit pizza di atas piring. Kebingungan mau menunggu hujan reda atau sekali ini aku bermain dengan hujan saja. Inginnya begitu.

Namun saat kutengok lagi keluar, hujan terlalu deras untuk diterobos. Aku sih takkan apa-apa. Tapi tasku? Tanpa perlindungan.

Aku lelah duduk di tempat yang sama. Jadi aku pindah ke kursi kosong di sebelahku. Menempeli kayu yang dirancang sedemikian rupa oleh arsitek-atau siapapun ia-yang membangun tempat ini, sebagai pembatas. Dan kini ia nyaman menempel di tangan kiriku.

Banyak orang di sini. Ramai. Aku? Aku tidak merasa sedang dalam keramaian. Aku? Juga tidak merasa sepi. Mungkin sekarang aku sedang sedikit panik. Tapi aku sedang santai.

Hati ini langsung menoleh ketika ada suara ramai. Sebelum aku menceritakan lebih jauh, bisakah kau bayangkan permen marbels-atau chacha-yang banyak berserakan tumpah-jatuh-? Itulah keramaian yang menarikku.

Pelakunya seorang bocah. Kelakuan anak kecil. Aku dulu pasti begitu, kamu pasti begitu, orang lain juga pasti begitu, anakku mungkin juga nanti begitu. Lalu apa masalahnya? Tentu saja kepanikan sang ibu yang membuat aku takut. Ia membentak dan memarahi anaknya. Aku tahu tujuan sang ibu baik. Tapi semua itu terasa olehku yang semakin peka. Aku mendengar dengan jelas bentakannya. Meskipun orang-orang tak hening, tak berhenti berceloteh. Aku pun teringat masa lalu.

Bukannya aku mau mengaku lemah atau aku mau bermanja, tapi aku hanya ingin bercerita-karena itulah yang sedang aku lakukan sedari tadi. Aku paling takut bentakan. Itulah mengapa aku takut petir.

Hei, di pizza dingin. Dingin sejuk pendingin buatan. Bukan dingin karena hujan seperti kemarin.
Hujan sudah sedikit reda. Cukup reda.

Kembali ke anak kecil dan ibunya. Aku ngga tau ibu-ibu lain seperti apa? Tapi aku ini sepertinya akan segera menjadi ibu yang terlalu sayang anaknya. Berusaha sebaiknya agar anaknya tak terluka. Lalu siapa yang akan menegaskan anakku? Aku tertawa dan segera menjawab, tentu saja suamiku. Ada sosok teman yang tegas dan teratur dalam bertindak. Dan ada salahnya kan mencontoh sosok dalam diri teman itu.

Tapi tenang saja, aku tidak akan sebergantung itu kepada suamiku. Ini aku sedang belajar untuk bisa lebih baik untuk menjadi seorang ibu. Dan tak lupa berdoa agar aku benar-benar siap saat waktunya telah tiba.

Hal yang tak pernah mengurangi kebahagianku adalah mengunjungi adik-adikku tersayang di suatu tempat di daerah naripan. Aku sedang di merdeka dan ini tak jauh dari sana. Betapa inginnya aku untuk terus kembali ke tempat itu. Terimakasih Icha sudah mengenalkanku dengan Lutfi yang kemudian mempertemukanku dengan mereka dan terimakasih Lutfi karena telah sabar mendekatkan mereka kepadaku. Wonderful!!!!

Di sana aku selalu berusaha sebaik mungkin. Karena mereka masih belum terlalu sedekat itu denganku. Jujur aku iri sama kamu, fi. How could you do that??? I can't. Dan aku iri sama kamu, cha, karena kamu selalu bisa terlihat menjadi sosok ibu yang baik. Foto yang ada di hapeku cha, sangat membuatku iri. Tapi kamu ngga usah merasa gimana ke aku. Keep this one in you, ngga ada yang salah dengan iri untuk kebaikan... Satu lagi, aku selalu iri sama Ve. Karena kamu bisa menjadi contoh yang sangat baik untuk mereka. Dan kamu tinggal memantapkan hati untuk membentuk 'sesuatu'. Hahahaha.. Hei hei, aku hanya bergurau. Tapi inget juga ya Ve, kalau sekarang memang belum bisa terbentu sesuatu, tak ada yang perlu dipaksakan untuk ada. Indah pada waktunya. Kita bertiga percaya itu.

Hujan sudah reda dan aku mau beranjak dari tempat ini.

Seorang ibu dan kedua orang anaknya sudah beranjak pulang. Dan salah satu anaknya mengajakku bergurau. Hanya sesaat. Tapi sangat berarti bagiku.

Gimana caranya jadi duta UNICEF ya?

Bandung, 18 Maret 2010
Untuk anak-anak yang selalu bernurani murni

Rabu, 17 Maret 2010

Tulisan di Tengah Hujan - Part.1

Besok uts inderaja sama ATHL, tapi sekarang aku masih di kampus duduk di basement cc barat karena aku harus mempertanggungjawabkan jabatanku dan karena sekarang, HUJAN

Kemudian aku berpikir dan menghirup dalam-dalam udara di sekitarku. Merasakan benar-benar dinginnya selimut hujan.

Kesibukan ujian atau aktivitas lain akhir-akhir ini sudah membuat aku tidak sempat duduk sejenak untuk berpikir. Mungkin sebenarnya hal seperti ini juga sering terjadi pada orang lain. Namun ini saatku.

Banyak orang hilir mudik, datang pergi, mengurusi kesibukan mereka masing-masing. Sedangkan aku? Masih tetap menetap d sebuah kursi besi dingin dengan-aku sebut lagi-selimut udara dingin hujan yang turun...

Dan aku jadi tenggelam dalam kisah hidupku. Entah cukup menarik atau justru tergolong membosankan, yang pasti penuh gelombang. Ah... Aku tak mau membicarakannya, yang buruk membuat aku terjebak pasir isap yang kelam dan yang baik membuat aku membumbung tinggu tak ingat daratan. Jadi lebih baik hanya dikenang dan cukup menjadi pelajaran, dalam hati saja.

Aku yang selama ini terus mencari dan mengharapkan 'seseorang' sekarang sudah sampai pada suatu titik. Aku kemudian sadar. Bukanlah hal yang tak wajar kalau aku selalu penuh kebimbangan. Ingin stabil tapi selalu labil. Wajar saja. Toh aku bukan seorang perempuan separuh baya yang sudah kenyang mencicipi kehidupan, bahkan setauku perempuan seperti itu pun seringkali me-labil-kan dirinya. Kembali lagi, wajar. Life isn't something easy.

Ah, aku mulai senang menggunakan bahasa asing. Berarti ini semakin serius. Dan karena itu-juga karena orang yang kutunggu tak kunjung tiba-aku putuskan untuk beranjak dari bangku besi dingin ini. Meskipun hujan masih senang menderu.. Sebelumnya, sebatang coklat hendak kumasukkan dulu ke dalam satu-satunya pintu masuk di tubuhku menuju tempat dimana otak selalu menerima sinyal kelaparan-tanpa peduli aku akan menjadi gendut.

Derap suara orang-orang yang lalu lalang di tangga dan berpapasan denganku memenuhi diriku. Begitu juga alunan musik dari seorang adam saat aku melalui depan himpunan salah satu jurusan di kampusku.

Lalu lorong sipil. Kuno dan selalu menarik diriku untuk mencintainya. Dan sebentar lagi menuju lautan rumput nan hijau di lapangannya. Tempat terasik untuk praktikum dengan theodolite yang harganya bisa sama dengan 1 mobil keluaran perusahaan ternama.

Lalu melalui jalan yang paling sering aku lalui saat aku masih di tahun pertama dulu. Ingat sahabat-sahabatku. Ada yang tak akan pernah terganti.dan ada yang menghempaskan dirinya pergi. Yang pergi begitu dekat, yang masih ada begitu jauh. Kenyataannya seperti itu.

Dua sahabatku di sini ada yang tak akan kuragu meninggalkan aku pergi. Namun khawatir tetap khawatir. Dan aku sangat takut kalau aku sampai kehilangan mereka. Aku begitu sayang kalian.

Ada tiga lagi sahabat saya sejak SD-ah jadi bercerita tentang sahabat. Satu ada di Solo. Kami menjadi jauh lebih dekat jika kami bersama. Satu lagi di Depok. Universitas ternama di negara ini. Melahirkan tokoh-tokoh yang tak jarang mempunyai karier yang gemilang. Dian sastro pun dari sana. Kini giliran ia. Karena ia begitu lezat untuk diajak bersama. Semua hal. Satu lagi tak kemana-mana. Tidak jauh dari kota kami semua berasal. Memang dia pindah rumah ke Jakarta, tapi toh Jakarta, dekat. Saya sayang ia karena ia begitu mudah menjelma menjadi sosok kakak yang saya idamkan. Lebih dari kakak, ia juga bisa menjadi sahabat saya. Maka dari itulah saya jauh dari pikiran untuk menjadi kekasih sahabat saya. Tidak.

Ada lagi sekumpulan hawa yang bertemu di sma. Kami bertujuh. Kami pikir kami bisa selalu bersama. Tapi ternyata saya sudah tak bisa sejalan dengan salah satu di antara mereka. Sisa limanya? Hahahaha.. Saya terlalu malas mendeskripsikan lima anak hawa yang begitu bervariasi itu karena keterbatasan keypad hape saya-hape yang diidolakan semua orang yang ternyata kemudian saya miliki juga.-meskipun saya begitu suka menceritakan apapun tentang mereka. Satu hal-saya tidak menjanjikan lebih-yang bisa saya ungkapkan pada kalian. Kalian begitu berarti untuk saya.

Kali ini sekelompok kecil anak manusia yang bertemu di masa terakhir saya duduk di bangku smp. Tak banyak yang bisa saya kisahkan mengenai mereka. Mengapa? Karena mereka tak ternilai harganya dan tak terjangkau batas kata saya untuk mereka. You're the one of most wonderful things I've ever met in my life. Sayangnya, ajaran hidup selalu bertindak, kita tak bisa selalu terus bersama. Love you guys!

Inilah salah satu tujuan saya. Tentang sahabat yang datang dan pasti pergi meskipun takkan pernah terganti. Dan juga tentang 'seseorang'. Yah, sempat terlupakan tadi dan sekarang saya bayar.

Namun sblm saya lupa, saya ingin bilang kalau saya baru saja selesai les biola. Hal yang juga begitu saya cintai-hingga ingin mati jika harus sampai berpisah pergi-adalah menghabiskan sejenak waktu saya dengan vito. Firstly, let me introduce my lovely violin-i just have one now but I promise I'll have more-vito. Dulu mudah mewujudkan impian saya untuk bisa bermain biola, namun kini lebih banyak kendala. Awalnya saya bertekad untuk terus berlatih di 'wadah' yang ada di kampus saya. Tapi kemudian begitu sulit diwujudkan karena saya begitu terlena dalam kehidupan kampus.

Sebentar. Saya di dalam angkutan kota dan pak supir seperti begitu mengerti kalau saya butuh waktu lebih lagi untuk menulis karena ia tak melajukan seperti jalurnya yang semestinya. Meskipun saya harus membayar ongkos lebih, hahahaha...

Kembali lagi pada kisah yang berhubungan dengan vito. Saya sayang dirinya namun saya sangat tak sempat menyentuhnya. Hanya penundaan yang terus berulang mengenai dirinya. Lalu awal tahun saya bertekad akan menetapkan jadwal tetap membelai vito dengan mengambil les biola lagi. Dan seketika bertemulah saya dengan tujuan saya. Saya memutuskan tidak perlu lagi saya harus meminta izin ayah saya dulu. Bukannya berniat untuk menjadi anak tak berbakti, hanya saja ayah saya seringkali tidak mengizinkan saya. Padahal keinginan ini sudah sekian lama terpendam.

Maaf akhirnya saya baru sempat sekarang membayar hutang saya di atas..

Tak perlu pinta saya untuk menyebutkan berapa banyak orang yang pernah sempat sejenak singgah di pikiran saya. Yang pasti : BANYAK. Saya sampai sebal kalau ingat hal tersebut. Dan kini kalau saya boleh berkomentar, saya pasti akan terus bertanya-tanya apa alasan saya hingga saya bisa dengan begitu mudahnya terjerat akan pesona seseorang. Kalau ada yang penasaran bagaimana saya sekarang? Hm, tidak seperti dulu yang pasti. Sedikit-sedikit memang masih ada, namun itu karena saya masih sangat normal tentunya.

Ah, saya baru sampai di kosan. Saat akan masuk kamar, saya tergoda oleh ingatan balkon teras di lantai kamar saya berada. Dengan bekal sebotol yogurt kecil yang begitu saya sukai, berangkatlah saya dan disinilah saya. Sesuai ekspektasi saya, nyaman, enak, sejuk. Selimut hujan dan hawa dingin. Langit melindungi saya dengan tampilannya akan menyambut malam.

Saya yang sekarang bisa dibilang sudah tidak mengelu-elukan cinta seperti dulu. Karena kini saya punya jawaban untuk menenangkan hati saya, dari keinginan mencintai dan dicintai, dari keinginan menjadi seperti teman-teman saya, dari keinginan menjadi lebih berpengalaman, dan dari keinginan mengasihi seseorang lebih dan lebih lagi. Sementara ini. Sebenarnya saya sangat ingin membagikan kunci ketentraman hati saya, akan tetapi setelah saya timbang lagi, saya yakin, kunci setiap anak manusia berbeda. Kunci saya ini adalah kunci untuk jiwa raga, batin, nurani, hati saya. Sebut saja kunci jadi.

Mungkin saya tidak bertambah dewasa. Namun saya bertambah pasti. Dulu saya sering bertanya apa visi misi dan tujuan saya hidup-seperti betapa bingungnya saya akan pertanyaan saat sedang diseleksi menjadi anggota OSIS semasa SMA dulu. Tapi sekarang, semakin hari semakin saya menjadi pasti.

Ah, langit semakin gelap...

Dan adzan magrib berkumandang...

Saya sedang tidak solat...

Kembali lagi.
Saya yakin tuhan sudah mempersiapkan 'seseorang' yang saya cari. Dan saya akan terus mempersiapkan diri untuk orang itu. Tapi adalah sesuatu yang munafik kalau saya mengatakan kalau tak ada yang singgah di pikiran saya saat ini. Icha dan Ve pasti tau siapa. Bahkan mereka pasti bosan sekali terus mendengar saya berseru-seru tentang orang-orang ini. Hahahahaha... Jangan bingung atau merasa salah tangkap. Memang jamak. Memang tak hanya satu.

Saya ingin mengakhiri kisah singkat saya sampai di sini dulu. Bukan saya bosan bercerita, tapi terkadang beberapa hal memang lebih baik disimpan untuk kali yang lain.

Tulisan ini memang bukan kamera yang punya fokus. Tulisan ini memang sengaja dibuat tanpa fokus.

Ini hanya tulisan singkat yang dibuat di tengah hujan yang panjang dan kegiatan seorang anak manusia yang tak berhenti sejak tadi pagi.

Tapi tulisan ini tidak dibuat sejak tadi pagi.

Tulisan ini hanya dibuat di tengah hujan.

Hujan yang menyelimuti sang penulis.

Hujan yang banyak, indah, dan tak terlukiskan nilainya...

Yang menyelimuti saya, who's nothing.


Bandung, 17 Maret 2010
Adzan juga ikut berhenti