Sedih. Sesengukan. Hujan.
Ah, benang merah itu lagi…
Namun benang merah itu harus sedikit aku nodai. Benang merah yang pada umumnya kujalin ialah : hujan, merenung, blackberry. Kini salah satu dari mereka harus pergi. Bagaimana bisa? Sebentar, akan segera kukisahkan.
Siang tadi aku ikut seperti undangan gosip setelah kuliah kami hari ini akhirnya berakhir. Duduk di salah satu sisi yang terdapat bangku di depan kelas kesayangan kami-bukan karena kami benar-benar senang namun karena kami sering sekali kuliah di kelas tersebut-dan tak lupa mengajak salah satu teman sejurusanku yang memang sudah kujanjikan dua-tiga buah cerita. Dan aku memulai dengan yang paling awal kuingat. Dan yang paling krusial untuk segera disampaikan. Awalnya mencari solusi. Akhirnya saling mengutarakan cerita. Ah, dasar kalian ini terlalu wanita. Hahahahaha… satu-dua hal lain pun entah mengapa terasa hambar untuk jadi disampaikan tadi. Cukup sebal. Tapi ya sudahlah…
Dari sana kami mobilisasi menuju kantin arsi. Aku tak ada hasrat untuk jajan. Jadi hanya berputar-putar mengganggu teman-teman. Hahahaha… mungkin karena itulah saat aku duduk lagi aku merasakan ada yang menetes dalam tasku. Kualat? Memangnya aku melakukan apa? Lebih baik jangan berkata seperti itu. Nasib malang yang begitu naas yang begitu ingin datang tiba-tiba pada hari ini.
Minuman yang aku bawa dari rumah sudah terbuka tutupnya dan airnya sudah tinggal seperlima-atau seperenamnya. Kitab penting tepat kubersandar saat ada ujian sedikit basah. Buku catatan kecil basah. Buku pengeluaran sehari-hari basah. Tempat pensil, tempat handphone, tempat kacamata sepertinya terlatih untuk menjadi benda yang tahan-air. Payung cantik pemberian ibuku yang masih sangat baru cukup basah. Oh ya, aku bawa mukena. Dan basah kuyup-lah ia.
Yang paling naas baru akan kusampaikan sekarang. Benang merah yang biasanya menjadi wahana penulisanku akhir-akhir ini. Tidak basah kuyup. Hanya ada setetes-dua tetes air padanya. Namun tak lama setelah aku tengok dirinya, ia mengedip sejenak lalu mati. Tuts-tuts huruf masih memiliki lampu yang menyala menyinarinya. Namun layarnya, mati.
Saat masih bersama teman-teman, aku masih merasa tak apa-tak apa, nanti pasti bisa aku atasi. Namun saat aku sudah sendiri di kamar kosan dan tak mampu melakukan usaha yang memberikan hasil, aku putus asa. Secepat itu? Ya. Entah berapa lama setelah aku merasa semakin panik, kamar kosanku hanya berisi suara tangisanku.
Dan aku sangat membutuhkan teman. Sahabatku sayang. Dua perempuan ini yang langsung terlintas di dalam pikiranku. Namun aku tak langsung menghubungi mereka. Hanya sempat memikirkan. Dan aku belum sholat. Mengapa aku tak mengadu kepada Yang Maha Esa saja? Aku pun mengabil air wudhu. Entah kapan tepatnya, sahabatku ini ternyata mengirimi aku pesan. Dan aku berkeluh kesah saja sedikit padanya. Dan panikku perlahan pergi ketika ia datang dan membantuku mencarikan solusi.
Setelah banyak mondar-mandir kamarku-kamarnya, aku ingin ke kamar mandi. Ada yang tertahan. Dan kami menertawai alasanku itu. Dan di kamar mandi-yang memang selalu menjadi tempat inspirasiku keluar ini-aku berpikir. Dan berhasil merangkai kata untuk bisa menulis lagi. Karena selama aku terkubur dalam tangisan panikku, aku berpikir bahwa aku pasti tak bisa menulis lagi. Yah. Menyedihkan. Namun kenyataannya seperti itu. Awalnya.
Sebenarnya aku justru bisa bercerita. Meskipun aku tidak bisa menemukan hikmah sedari tadi tapi-walaupun aku tak percaya saat aku sedang dirundung kelabu-aku pasti bisa menemukan suatu hikmah, manfaat. Dan karena aku Leo. Karena aku anak mama-papaku. Karena aku cerdas. Karena aku kreatif dan inovatif. Karena aku makhluk ciptaan Tuhan-ini yang paling benar. Jadi aku pun BISA.
Dan malam menjadi begitu dingin karena hujan yang mengiringi. Meskipun hujan sudah berhenti sedari tadi, malam masih terasa dingin. Terlalu dingin.
Salah satu pertanyaan di atas sempat terlontar berulang-ulang di dalam pikiranku. Apa yang membuat aku menjadi begitu khilaf? Apa yang salah selama ini?
Mungkin jawabannya karena aku kurang mengontrol diriku. Manja. Mengeluarkan segalanya semauku. Kurang berpikir panjang. Terlalu santai. Tak mau berpikir lebih jauh. Tak mau mencari dengan giat. Tak mau giat berusaha. Buruk.
Melakukan hal yang tidak baik.
Kurang fokus.
Harus bisa disiplin.
Lalu aku berpikir. Karena kejadian seperti ini. Aku jadi teringat kembali perasaan deg-degan karena khawatir dimarahi ibu. Rasa cemas. Rasa bersalah. Rasa tidak ingin terlalu banyak menuntut apapun dari ibu. Sepertinya akhir-akhir ini banyak menuntut dan merepotkan ibu. Dan tidak mampu menunjukkan pada ibu bahwa aku mampu.
Lalu aku teringat saat bertemu teman lama yang kemudian memberitahukan aku mendapat semacam beasiswa. Wow. Hari itu cerah. Panas sempat terik malah. Meskipun lambat laun langit menggelap mendung. Namun aku sudah berhasil melewati satu hari itu dengan praktikum seharian. Berhasil. Dan ada berita mengejutkan seperti itu. Wow.
Sayangnya aku lupa untuk mengambil bagianku itu karena terlalu sibuk mengurus ini-itu. Dan akhirnya saat aku menyampaikan berita ini kepada kedua orangtuaku yang sedang ada urusan datang kemari-sekaligus menjengukku-aku pun menyampaikannya dalam dua format data. Format yang excellent dan format yang error. Mau bagaimana lagi aku berdaya jika memang aku lupa.
Yang membuat aku heran. Pengumuman itu ditempel di depan kedua mataku berkedip. Persis. Dan aku tak melihat. Karena aku terlalu skeptis dengan anggapan aku akan mendapat kesempatan seperti ini. Padahal kalau aku ingin nantinya akan berlayar ke negara yang tak lagi berada di wilayah yang sama seperti sekarang ini aku berpijak aku sepenuhnya berlayar bersama jerih payahku. Namun sekarang aku heran ketika mendapat kesempatan mencicipi dulu awal-awal. Tak kusangka. Memang aneh sudah.
Terlalu banyak hal yang membuat aku lepas pikiran. Terlalu mudah aku beralih. Terlalu gampang aku berlari pergi dari tempat seharusnya aku berada. Sekarang aku masih jua bimbang harus berkata apa. Namun aku harus-pasti harus-mencoba mencoba mencoba dan belajar mengatasi semua ini dan mengendalikan diriku sendiri.
Dan memang semua orang harus bisa seperti itu. Mencoba dan belajar.
Pemenang belum tentu orang yang mendapatkan hasil terbaik ataupun tercepat. Pemenang adalah seorang yang mendapat begitu banyak pelajaran saat prosesnya. Dan pemenang adalah orang yang mampu bangkit berdiri menitih untuk berlari saat ia merasa sudah tak mampu lagi.
Itu menurutku. Banyak orang yang juga berpendapat sama.
Mungkin. Kisah ini berakhir di sini dulu. Mungkin kisah ini tidak ingin kulanjutkan menuju bagian-bagian berlanjut selanjutnya. Mungkin kisah ini akan berlanjut ke bagian lanjutan. Mungkin kisah ini sebenarnya tak pernah berlanjut atau melanjutkan dirinya. Kisah ini hanyut saja. Tapi takkan pernah hilang meskipun hanyut. Justru terkenang.
Ini tentang aku. bukan tentang siapa-siapa. Seorang mahasiswa yang masih belum stabil dan sering mengalami kebingungan yang tak sepatutnya sendiri. Namun juga seorang manusia yang mempunyai kewajiban dan hak yang sama dengan semua orang yang juga patut dihargai.
Terimakasih.
Maaf.
Dan akhir-akhir ini adalah saat yang sulit untuk mengucapkan dua hal tersebut.
Memang aku yang terlalu tidak menyadari diriku.
Dan aku masih mendapatkan dan terus akan mendapatkan pelajaran berharga dari kehidupan ini.
Bandung, 30 Maret 2010
Di depan salah satu benda kesayangan sambil berselimutkan dingin
nice nul, maaf jadi hambar ceritanya hahaha
BalasHapussmooch smooch
hahahaha.. kenapa pake anonim sih?
BalasHapuszzzzz.. untung saya cerdas.. :p