Aku bosan memikirkanmu.
Lalu aku bertemu hujan. Bukannya aku sudah lama tak bertemu hujan, hanya saja hujan biasanya bisa memaklumi semuanya untuk pergi. Kali sudah tak bisa lagi. Kata kata ini mencumbu hujan tak ingin dilupakan pergi.
Aku menatap lampu-lampu di jalan yang silih berganti. Aku berdiri di tempatku tanpa ada pergerakan berarti. Bukan karena aku segitu inginnya menatap hujan, akan tetapi aku sedang menunggu peri.
Seorang hantu menghampiri. Aku tersenyum dan ia membalas dengan ramahnya. Aku jadi sedih mengingat banyak orang yang sering langsung ketakutan melihat dirinya. Atau yang menghina di belakangnya. Padahal mereka sedang mencari sesuap nasi. Hanya saja tak bisa dengan cara seperti kita ini. Terkadang juga sih. Dan terkadang semua itu salah mereka sendiri. Jadi tak tau bagaimana cara membela mereka. Yang pasti, yang satu ini takkan ragu kubela.
Hujan kini memberitahuku. Aku ini sebenarnya pemilih. Serta penanti. Yang begitu setia meski harus tersakiti. Apakah benar perwujudan seperti ini masih bisa memijakkan kaki di bumi?
Tuhan tau segalanya. Bahkan untuk seseorang seperti aku ini, Dia selalu membuka jalan-Nya. Pilihan yang ada di hadapanku, Ia yang menunjukkan. Pilihan yang akhirnya menemuiku, ia yang menakdirkan. Aku berusaha bertemu dengan takdirku bukan dengan berlari mencari. Akan tetapi dengan bersabar menunggu, di persimpangan yang telah ditunjukkan Tuhan. Kalau saat ini aku masih belum bertemu dengan peri pengisi hatiku, bukan karena ia takkan tiba, hanya karena aku yang telah lebih dahulu tiba. Tak perlu mengeluh akan penantian panjang yang tak pasti, karena banyak hal menarik yang sebenarnya mengisi. Selama matamu tidak sengaja ditutupi, dan hatimu membuka dengan senang hati. Tidak perlu terlalu banyak kunci. Hanya satu kunci sehingga kunci yang lain bisa kau ambil saat kunci yang tergantung terbawa air.
Air hujan...
Selalu membawa banyak kata untuk dirangkai. Hanya saja seringkali tidak memaksa untuk dikenang.
Periku tiba. Dan perasaan menjadi lega. Meskipun kulit yang menempel luka-luka. Mata kelelahan menatapan berjuta sinar berjuta. Hidung tak kuat menahan duka. Mulut asam tak berasa. Air penuh memasuki telinga. Tapi karena kamu ada, semua seperti disiram air sejuk tak terhingga. Ada perasaan nyaman di dada.
Tahukah kamu? Meskipun mulutku tidak spontan menunjukkan senyumnya, ia sedang tertawa. Aku bukan rupa yang bertopeng sejuta. Karenanya pintu hati terbuka. Dan kamu, bisa melihat semuanya.
Hanya saja, apakah kamu bisa menerima semuanya?
Bandung, 24 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar