Ternyata pulpen, kertas, dan tissu yang diusahakan ada untuk menulis ringan tidak cukup untuk seorang aku.
Di luar pizza hujan deras lagi. Aku kekenyangan. Dan masih ada sedikit pizza di atas piring. Kebingungan mau menunggu hujan reda atau sekali ini aku bermain dengan hujan saja. Inginnya begitu.
Namun saat kutengok lagi keluar, hujan terlalu deras untuk diterobos. Aku sih takkan apa-apa. Tapi tasku? Tanpa perlindungan.
Aku lelah duduk di tempat yang sama. Jadi aku pindah ke kursi kosong di sebelahku. Menempeli kayu yang dirancang sedemikian rupa oleh arsitek-atau siapapun ia-yang membangun tempat ini, sebagai pembatas. Dan kini ia nyaman menempel di tangan kiriku.
Banyak orang di sini. Ramai. Aku? Aku tidak merasa sedang dalam keramaian. Aku? Juga tidak merasa sepi. Mungkin sekarang aku sedang sedikit panik. Tapi aku sedang santai.
Hati ini langsung menoleh ketika ada suara ramai. Sebelum aku menceritakan lebih jauh, bisakah kau bayangkan permen marbels-atau chacha-yang banyak berserakan tumpah-jatuh-? Itulah keramaian yang menarikku.
Pelakunya seorang bocah. Kelakuan anak kecil. Aku dulu pasti begitu, kamu pasti begitu, orang lain juga pasti begitu, anakku mungkin juga nanti begitu. Lalu apa masalahnya? Tentu saja kepanikan sang ibu yang membuat aku takut. Ia membentak dan memarahi anaknya. Aku tahu tujuan sang ibu baik. Tapi semua itu terasa olehku yang semakin peka. Aku mendengar dengan jelas bentakannya. Meskipun orang-orang tak hening, tak berhenti berceloteh. Aku pun teringat masa lalu.
Bukannya aku mau mengaku lemah atau aku mau bermanja, tapi aku hanya ingin bercerita-karena itulah yang sedang aku lakukan sedari tadi. Aku paling takut bentakan. Itulah mengapa aku takut petir.
Hei, di pizza dingin. Dingin sejuk pendingin buatan. Bukan dingin karena hujan seperti kemarin.
Hujan sudah sedikit reda. Cukup reda.
Kembali ke anak kecil dan ibunya. Aku ngga tau ibu-ibu lain seperti apa? Tapi aku ini sepertinya akan segera menjadi ibu yang terlalu sayang anaknya. Berusaha sebaiknya agar anaknya tak terluka. Lalu siapa yang akan menegaskan anakku? Aku tertawa dan segera menjawab, tentu saja suamiku. Ada sosok teman yang tegas dan teratur dalam bertindak. Dan ada salahnya kan mencontoh sosok dalam diri teman itu.
Tapi tenang saja, aku tidak akan sebergantung itu kepada suamiku. Ini aku sedang belajar untuk bisa lebih baik untuk menjadi seorang ibu. Dan tak lupa berdoa agar aku benar-benar siap saat waktunya telah tiba.
Hal yang tak pernah mengurangi kebahagianku adalah mengunjungi adik-adikku tersayang di suatu tempat di daerah naripan. Aku sedang di merdeka dan ini tak jauh dari sana. Betapa inginnya aku untuk terus kembali ke tempat itu. Terimakasih Icha sudah mengenalkanku dengan Lutfi yang kemudian mempertemukanku dengan mereka dan terimakasih Lutfi karena telah sabar mendekatkan mereka kepadaku. Wonderful!!!!
Di sana aku selalu berusaha sebaik mungkin. Karena mereka masih belum terlalu sedekat itu denganku. Jujur aku iri sama kamu, fi. How could you do that??? I can't. Dan aku iri sama kamu, cha, karena kamu selalu bisa terlihat menjadi sosok ibu yang baik. Foto yang ada di hapeku cha, sangat membuatku iri. Tapi kamu ngga usah merasa gimana ke aku. Keep this one in you, ngga ada yang salah dengan iri untuk kebaikan... Satu lagi, aku selalu iri sama Ve. Karena kamu bisa menjadi contoh yang sangat baik untuk mereka. Dan kamu tinggal memantapkan hati untuk membentuk 'sesuatu'. Hahahaha.. Hei hei, aku hanya bergurau. Tapi inget juga ya Ve, kalau sekarang memang belum bisa terbentu sesuatu, tak ada yang perlu dipaksakan untuk ada. Indah pada waktunya. Kita bertiga percaya itu.
Hujan sudah reda dan aku mau beranjak dari tempat ini.
Seorang ibu dan kedua orang anaknya sudah beranjak pulang. Dan salah satu anaknya mengajakku bergurau. Hanya sesaat. Tapi sangat berarti bagiku.
Gimana caranya jadi duta UNICEF ya?
Bandung, 18 Maret 2010
Untuk anak-anak yang selalu bernurani murni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar