Menunggu. Hujan. Nyaman.
Ingin tertawa rasanya kalau kuingat alasan tulisan ini bisa dilahirkan... Karena sedang menunggu dan hari sedang hujan. aku rasa itulah benang merah dari semua kilasan yang kuberi judul sama ini.
Suara motor memenuhi ruangan di hadapanku dan dengan cepat suara itu datang dan pergi. Ruangan yang sedang kudiami juga bukan ruangan tertutup pengap yang mengurung segalanya. Ruangan ini justru pintu masuk penglihatan saya terhadap kebebasan.
Dan saat itu sudah menjadi malam itu.
Yah malam itu aku mendapat banyak hal yang cukup mengejutkan hatiku. Kagum dan juga miris. Aku jadi berpikir mengenai kehidupan berumahtangga lagi.
Well, obrolan dewasa kurasa. Hahaha...
Jika aku sudah menikah nanti, aku pasti akan menemukan kondisi seperti itu. Terlebih lagi aku ini adalah manusia yang begitu ingin memiliki seorang anak dari perutku sendiri. Jumlah anak tergantung Tuhan.
Sejenak. Malam ini hujan lagi. Di dalam mobil. Jok belakang. Hangat. Dua sahabat. Embun.
Ramai sudah lama tak bertemu. Ramai mencari tempat tujuan berkisah. Ramai bercanda-gurau.
Kondisi yang diceritakan padaku malam itu. Adalah kondisi dimana seorang anak bisa melakukan kesalahan yang fatal dan orang yang lebih tua harus bisa mengatasi dan menanganinya.
Saat ini aku sedang belajar. Mempersiapkan semua itu. Sebenarnya tak hanya aku. Kita semua. Sehingga saatnya nanti tiba, kita sudah siap.
Aku memang merasa cukup sulit berurusan dengan perasaan yang berhubungan dengan pacaran. Tapi aku tak sabar menanti saat setelah pacaran. Mungkin kalau memang bisa, ingin rasanya aku mengajak saja anak terlantar yang tak diurusi orangtuanya untuk berada dalam tanganku. Kurawat dan kujaga.
Namun seorang kerabat berkata hal tersebut akan menimbulkan ketidakbaikan. Bukan untukku tapi untuk anakku. Dan aku yang paling tak mau hal itu.
Perasaan terlalu menyayangi sudah ada di dalam diriku tanpa harus dipancing dan ditarik terlalu kuat atau terlalu dalam. Tapi perasaan untuk membatasi dan menahan perasaan sayangku ini masih belum ada. Namun tetap kalian bisa percaya satu hal. Aku akan terus mencoba dan belajar. Sekali lagi aku bilang, yang begitu tak hanya aku. Juga kalian. Mereka. Semua.
Malam ini aku berkelana di luar. Awalnya disambung menyenangkan hati namun kemudian aku terpuruk.
Entah mengapa aku sedang selalu merasa salah. Merasa tak benar. Dan ini terjadilah. Pemikiran tidak terlalu memikirkan orang memang harus selalu kupijak. Karena jika kugoyah sedikit saja aku pun layu.
Dan inilah yang sedikit kutaksuka dari sahabat. Selain karena aku pasti tak berkutik di depan mereka, aku pun akan mudah terpengaruh akan mereka. Namun selama pengaruhnya terjadi baik padaku.
Angin malam yang bertiup kencang dari jendela di mobill bagian penumpang belakang karena mobil melaju kencang di jalan tol adalah hal yang sangat kucintai.
Ramai. Berisik. Menampar. Kencang. Alam. Sejuk.
Tak ada lagi kata yang aku ucapkan kemudian. Hanya ingin menikmati dalam diam. Di saat berangkat. Dan juga pulang.
Ternyata perjalanannya cukup panjang. Untuk ukuran 3500 memang mungkin wajar saja. Waktu yang cukup berkualitas dan menyenangkan pun aku dapatkan dalam memandang, menikmati, dan diam...
Hey, langit hitam tak berbintang.
Apa itu yang sedang memenuhi hati kami-yang ada di mobil yang sama yang sempat menantang keruh tadi?
Dan cuma tinggal rasa berat di kelopak mata ketika penumpang sudah berkurang satu.
Akhir cerita kali ini : aku masih merasa takut memeluk suatu komitmen dalam.jemariku. Bukan hanya diriku belum siap namun hati mungkin juga belum menemukan. Dan juga kenyataannya adalah suatu hal yang rumit dan berliku membina hubungan dengan seseorang itu.
Sementara aku masih tak peka. Masih tak tau mengenai hal itu. Masih tertutup matanya. Masih fana belaka. Masih muda.
Sayangnya aku juga tak tau mau berbuat apa. Atau juga mau berkata apa. Tak ada pembelaan dan tak ada penjelasan akan ketidak mengertianku.
Sudah
Cukup sudah
Lelah
Bandung, 28 Maret 2010
Kencang masih melaju di kaki
(jempol)
BalasHapus